Citayem Fashion Week: Fenomena Sosial Budaya Pada Selera dan Gaya Remaja

Oleh: Firmansyah Demma (Mahasiswa Sastra Daerah FIB Unhas)

Ruang selain menjadi tempat kontestasi sosial setiap individu, juga menjadi lumbung kontestasi budaya (keseluruhan cara hidup) manusia. Melalui ruang dan segala dimensinya, manusia dengan gampang mereformulasi dan mengkonstruksi suatu penampakan sosial budaya yang dianggapnya sebagai praktik kesenangan baru.

Tak sedikit hal yang muncul di permukaan akibat dari hasrat setiap individu yang tak bisa terbendung, baik dari segi cara berbahasa, cara bergaul, cara berpakaian, hingga pada hal-hal yang sifatnya mendominasi seperti membentuk kelompok-kelompok yang memiliki ciri khas tersendiri.

Hal tersebut banyak kita jumpai terutama pada dunia yang serba modern ini, hampir semua hal dapat diakses dan dipraktikkan oleh setiap orang melalui modernitas. Kelompok masyarakat yang paling rentan menjadi pelaku utamanya ialah anak muda atau remaja. Mengapa demikian? Karena anak muda atau remaja memiliki gaya dan selera tertentu.

Dalam Budaya Pop (Pop Cultural), sebenarnya hal tersebut adalah sesuatu yang wajar karena diadopsi dari pesatnya perkembangan modernitas dalam berbagai hal. Namun, sekalipun itu menjadi wajar dalam realitas modern, tetap memiliki dan potensi menimbulkan ancaman apabila memasuki ruang kontestasi entitas dan identitas budaya. Sebab, jika memasuki ranah kontestasi identitas budaya, jelas akan menggugurkan entitas dan identitas budaya yang lainnya.

Negara-negara modern tak terkecuali Indonesia (yang semakin hari semakin memasuki ruang modernitas) perlahan mulai didominasi oleh kelompok masyarakat yang mengadopsi budaya, gaya, dan selera yang cukup bombastis, terutama pada kelompok remaja.

Pada umumnya, banyak yang mengira bahwa remaja adalah individu yang terbatasi oleh faktor biologis dan umur. Padahal dalam sudut pandang lain, remaja justru menjadi kelompok masyarakat yang paling sublim bukan karena faktor biologis ataupun umurnya. Seperti dikatakan oleh Sosiolog yang pertama kali melakukan studi remaja pada awal 1940-an, Talcot Parsons menganggap, bahwa remaja merupakan sebuah konstruksi sosial yang terus menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat.

Parsons mencoba menggambarkan, sesungguhnya remaja ialah entitas individu yang bebas bertindak berdasarkan perubahan-perubahan bangunan sosial budaya (ruang dan waktu) mengikuti perkembangan zaman meskipun tak harus berusia 12 atau 15 tahun.

Remaja adalah sebuah entitas konsep yang bersifat ambigu. Kadang ia bersifat legal dan kadang juga tidak legal. Di Indonesia misalnya, tolok ukur kapan seseorang boleh mulai melakukan hubungan seks, kapan seseorang boleh menikah, dan kapan seseorang boleh berpartisipasi dalam pemilihan imum sangatlah berbeda.

Selain Parsons, A. James (1986) pun dalam studinya tentang batas-batas kedewasaan di Inggris, mencoba untuk menginterpretasi studi remaja. Ia mengatakan, bahwa batas usia fisik telah diperluas sebagai batas definisi dan batas kontrol sosial. Artinya, ukuran keremajaan seseorang adalah sesuatu yang subjektif.

Sementara Grossberg (1992) menitikberatkan pandangannya pada persoalan bagaimana kategori remaja yang ambigu itu diartikulasikan dalam wacana-wacana lain, misalnya musik, gaya, kekuasaan, harapan, masa depan dan sebagainya.

Jika orang-orang dewasa melihat masa remaja sebagai masa transisi, menurut Grossberg remaja justru menganggap posisi ini sebagai sebuah keistimewaan dimana mereka mengalami sebuah perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya hak untuk menolak melakukan rutinitas keseharian yang dianggap membosankan.

Fenomena sosial budaya hari ini banyak dipraktikkan langsung oleh anak muda atau remaja. Seperti yang belakangan menggemparkan jagad nusantara, yakni adanya kelompok anak muda yang menampakkan diri melalui “Citayem Fashion Week” atau “Pekan Mode Citayem”. Melalui CFW itu, para anak muda kekinian mempertunjukkan gaya dan seleranya melalui cara berpakaian yang dianggapnya sebagai role model anak muda masa kini.

Pada pandangan masyarakat umum, menganggap bahwa hal tersebut ialah fenomena sosial budaya yang baru. Padahal, sesungguhnya penampakan itu adalah fenomena lama dalam sosial budaya kita yang kini mereinkarnasi dengan model tertentu.

Fenome tersebut sama dengan fenomena identitas diera 80-90-an atau bahkan sebelumnya, yang memakai pakaian nyentrik seperti baju cenderung sempit/kebesaran, celana sobek/sempit di lutut dan gombran dimata kaki. Juga sama halnya dengan kemunculan kelompok-kelompok punk dengan pakaian dan model rambut yang sesuai selera mereka, pakaian kelompok penikmat musik rup, reggae, dan kelompok-kelompok lainnya.

Jadi, secara konsepsi kemunculan kelompok anak muda CFW itu sama dengan fenomena sosial budaya sebelumnya yang juga dipraktikkan melalui ruang publik. Munculnya CFW tersebut seakan memberikan sinyal bahwa anak muda Indonesia hari ini mesti kembali dengan pose nyentrik di era tempo dulu tapi pakaian kekinian yang berkiblat pada Budaya barat.

Hal tersebut tak bisa dipungkiri sebagai sebuah realitas sosial yang menunjukkan respons atas modernitas. Namun walaupun demikian, tetap memiliki sisi positif dan negatif – soal siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Dalam ruang globalitas, tentu akan menguntungkan negara-negara yang mengadopsi ciri khas pakaian seperti apa yang dikenakan anak muda melalui CFW, sebab jika orang-orang semakin tertarik pada CFW itu maka produk pakaian asing akan semakin melanglangbuana.

Akan tetapi, dalam ruang lokalitas, justru fenomena CFW itu akan merugikan nilai-nilai budaya Indonesia. Jika anak muda semakin tertarik pada pakaian kekinian yang modern, maka besar peluang pakaian lokal yang mencirikan Budaya Indonesia akan semakin tergerus. Anak muda kini akan semakin tak memperdulikan pakaian adat, tak pede memakai simbolisme lokal seperti blankon di Jawa dan Songkok Guru di Makassar, atau udeng di Bali.

Hal tersebut potensi terjadi karena publik secara tidak langsung mempromosikan dan mensosialisasikan pakaian-pakaian Barat. Sehingga paradigma yang terbangun dalam masyarakat atau anak muda bisa saja adalah bahwa pakaian-pakaian lokal merupakan identitas yang norak dan ketinggalan zaman.

Dalam sudut pandang kajian budaya (Cultural Studies), fenomena ini erat kaitannya dengan apa yang disebut sebagai “Perang Gerilya Semiotik”. Pandangan itu dikemukakan oleh sosiolog Inggris ekspatriat, Dick Hebdige.

Dalam The Meaning of Style (1979), Hebdige memposisikan gaya remaja dalam studi subkultur – kata kultur dalam subkultur menunjuk pada “keseluruhan cara hidup” atau “sebuah makna yang dipetakan” dan memungkinkan dunia bisa dimengerti oleh anggota-anggotanya. Kata sub menggambarkan ciri khas dan perbedaan dari kebudayaan yang mainstream.

Bagi Hebdige, gaya menjadi sesuatu yang otonom. Ia mencoba menyelidiki konsep brikolase Levis-Strause dengan memadukan pendekatan Gramsci dan semiologi Roland Barthes.

Hebdige menafsirkan gaya dalam tingkat keotonomiannya sebagai penanda. Bahwa Gaya adalah sebuah praktik penandaan (signifying practice), gaya adalah sebuah arena penciptaan makna. Di dalam kode-kode pembeda, gaya dijadikan pembentuk identitas kelompok.

Dalam studi subkultur remaja, semua barang-barang komoditas melalui konsumsi brikolase dijadikan alat untuk membentuk kelompok yang mendominasi secara Semiotik. Singkatnya, gaya adalah sebuah perang gerilya semiotik. Itulah yang nampak pada remaja CFW.

Jika kembali pada CFW dengan persepsi Hebdige, maka CFW adalah gerakan kelompok sosial yang diakomodir oleh anak muda untuk mendominasikan pakaian yang gaul sebagai tanda yang kekinian. Apabila CFW adalah upaya anak muda untuk mendominasi dengan trendnnya sendiri, maka kemungkinan besar secara sadar mereka mencita-citakan agar ada identitas yang tertutupi.

Para anak muda yang menampilkan diri melalui CFW, tidak memposisikan diri sebagai individu yang berpakaian karena sesuatu yang esensial pada pakaian itu sendiri sebagai tanda. Tetapi justru memposisikan diri sebagai individu yang hanya sebatas ingin melepas kesenangan, memproklamirkan selera, dan menggaungkan gaya yang menurut mereka itulah yang pantas saat ini terpanjang di ruang publik.

Munculnya kelompok anak muda CFW ini memang semacam perang gerilya semiotik yang mencoba untuk menutupi identitas yang ada sebelumnya, seperti identitas lokal.

Hal tersebut sangat bisa terjadi jika tak segera dilakukan counter hegemoni untuk melawan dominasi budaya barat seperti mendekonstruksi CFW sebagai fenomena kontestasi budaya lokal. Coba bayangkan, jika semua peserta CFW menggunakan identitas lokalnya masing-masing, tentu menarik bukan? Dan tentu itu akan menjadi trend lokal yang mendunia, memberikan daya tarik tersendiri terhadap identitas lokal, apalagi CFW ini yang semakin hari semakin bertransformasi di berbagai daerah. Jika memang CFW harus terus langgeng, maka pemerintah mestilah sadar untuk melibatkan identitas lokal di dalamnya.

Tulisan ini tak mencoba untuk menolak mentah-mentah modernitas dalam hal identitas pakaian, tetapi mencoba untuk kembali memposisikan agar gaya dan selera terhadap budaya lokal dapat tetap digaungkan. Mengikuti trend adalah sesuatu yang wahar, tetapi tidak dengan hasrat yang berlebihan seperti yang nampak pada pelupuk mata di ajang CFW itu.

Oleh sebab itu, perlu kiranya Citayem Fashion Week itu dijadikan sebagai ruang untuk memproklamirkan identitas lokal Indonesia dengan branding kekinian dan tidak sebatas untuk mempertontonkan identitas lokal hanya pada nilai rupiahnya semata, tetapi pum menjadi sebuah gerakan organik yang dapat memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan terhadap dunia secara esensial.

Lebih dari itu, juga dapat menjadi kontestasi pembelajaran para anak muda Indonesia untuk meresapi makna budaya-budaya Indonesia terkhususnya pada identitas pakaian. CFW dapat menjadi salah satu konsep pemajuan Budaya yang tidak eksklusif dan cenderung dapat diakses serta dinikmati oleh seluruh kalangan.

Similar Articles

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Instagram

Most Popular